Beberapa minggu yang lalu, saya agak terusik dengan sebuah thumbnail podcast milik Denny Sumargo. Saat itu bintang tamunya adalah Coki Pardede dan Dondy Tan. Podcast bertanggal 27 Maret 2024 itu ber-thumbnail "Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Gak Jadi Manusia?".
Yang membuat saya galau adalah terbatasnya opsi jawabannya. Kalau dibilang "Bisa" artinya saya mengamini konsep inkarnasi (perubahan wujud/penjelmaan Tuhan dalam bentuk manusia atau bentuk lain yang lebih konkret) sebagaimana diimani oleh teman-teman Kristiani. Kalau menjawab "Tidak Bisa" artinya saya menuduh Tuhan tidak Mahakuasa. Tentu, saya tidak ingin memiliki Tuhan yang tidak Mahakuasa. Pun saya juga tidak ingin dianggap membatasi kuasa Tuhan. Saya merasa terjebak. Dan itu menyebalkan.
Berbulan-bulan terlewati tanpa saya menemukan jawabannya, pertanyaan itu masih saja menggelayuti pikiran. Sampai suatu waktu muncul di beranda Youtube saya diskusi terbuka (walaupun sebenarnya itu debat) antara Ust. Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul yang bertema "Bisakah Keshahihan Akidah Islam Dibuktikan Secara Ilmiah?".
Dalam diskusi (atau debat) itu sungguh terlihat betapa cemerlangnya logika Ust. Nuruddin. Seperti namanya beliau memang membawa cahaya bagi agama (Nur al- Din), setidaknya bagi agama saya. Sebagai orang yang mencintai filsafat, saya kagum dengan ketajaman logika beliau. Singkat cerita akhirnya tergeraklah hati saya membeli tiga belas buku karangan beliau.
Dari sekian banyak buku, yang pertama saya baca adalah "Dasar-Dasar Akidah Ahlusunnah Wal Jama'ah Untuk Tingkat Pemula" yang merupakan syarah dari kitab Ummul Barahin karya Imam as-Sanusi. Dari bab pertama buku itulah saya menemukan jawaban pertanyaan yang selama beberapa bulan menghantui kepala saya. Yaitu dalam bab pengantar tentang Hukum-Hukum Akal.
Dalam Hukum Akal, segala sesuatu itu tidak akan lepas dari salah satu dari tiga keadaan. Wajib, Mustahil dan Mungkin.
Wajib adalah sesuatu yang tidak dapat dibayangkan ketiadaannya secara akal. Misalnya, sepotong roti pasti bertempat. Kenapa itu kebertempatan roti itu wajib? Akal kita tidak dapat membayangkan sepotong roti yang tidak bertempat. Roti itu benda jism (fisik). Ciri utama benda fisik adalah terdiri dari bagian-bagian. Dan akal kita mengatakan setiap yang terdiri dari bagian-bagian pasti menempati tempat.
Sedangkan mustahil adalah kebalikannya. Yaitu sesuatu yang tidak dapat dibayangkan keadaannya secara akal. Contoh, sepotong roti tidak terdiri atas bagian-bagian. Dapatkah akal kita membayangkannya? Tentu tidak. Maka hal itu adalah hal mustahil menurut hukum akal.
Contoh lain, ekor kucing yang lebih besar dari kucingnya. Hal ini adalah mustahil. Sebab ekor kucing adalah bagian dari kucingnya. Akal kita mengatakan bagian pasti lebih kecil dari keseluruhannya. Tidak ada bagian yang lebih besar dari keseluruhannya. Tidak ada angka 1 yang lebih besar dari 2. Sebab dua (keseluruhan) terdiri dari 1 (bagian) ditambah 1(bagian).
Berkaitan dengan hal ini, Ust. Nuruddin menambahkan penjelasan tentang mukjizat. Nabi Musa as yang membelah laut dan Nabi Ibrahim yang tidak terbakar ketika dilempar ke dalam api misalnya. Kedua hal tersebut dapat kita bayangkan, artinya itu tidak mustahil menurut akal, hanya mustahil menurut kebiasaan. Tetapi sekali lagi, secara akal, hal itu tidaklah mustahil. Maka, mukjizat adalah sesuatu yang mustahil secara kebiasaan tetapi mungkin secara akal.
Mungkin adalah sesuatu yang dapat dibayangkan keberadaannya maupun ketiadaannya. Misalnya, sepotong roti itu ada. Akal kita dapat membayangkan keberadaan roti itu maupun ketiadaannya. Roti adalah fisik yang tidak wajib ada, pun juga tidak wajib tiada. Tidak mustahil ada, karena buktinya sekarang ada nama benda yang disebut "roti" itu. Juga tidak mustahil tiada, karena sejak awal memiliki potensi untuk tidak pernah ada. Maka dari itu disebut hal yang mungkin. Bisa ada bisa juga tiada.
"Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Gak Jadi Manusia?"
"Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Tidak Membuat Batu Yang Dia Sendiri Tidak Mampu Mengangkatnya?"
"Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Gak Dia Meniadakan Dirinya Sendiri?"
Pertanyaan semacam ini dan semisalnya, disadari atau tidak mengandung kontradiksi. Samar memang, tetapi jika kita analisis lebih dalam muara pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi "Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Tidak Dengan Kuasa-Nya Dia Membuat Diri-Nya Sendiri Menjadi Tidak Mahakuasa?". Lihat betapa kontradiktifnya pertanyaan semacam itu sebenarnya. Penulis akan membagi kontradiksinya menjadi 2, kontradiksi proposisi dan kontradiksi substansi.
Kontradiksi Proposisi:
Proposisi adalah suatu pernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, tetapi tidak keduanya. Ini adalah kalimat yang memiliki makna penuh dan utuh, dan dapat dipercaya, dipertanyakan, dibantah, atau dibuktikan kebenarannya.
Hukum non-kontradiksi adalah aturan logika yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dan negasinya tidak dapat keduanya benar pada saat yang sama dan dalam pengertian yang sama. Dengan kata lain, sesuatu tidak dapat sekaligus benar dan salah pada waktu yang sama. Orang tidak dapat mengatakan "Makanan itu adalah roti" sekaligus mengatakan "Makanan itu adalah bukan roti".
Jika A=B, maka A ≠ B adalah proposisi kontradiktif yang pasti ditolak oleh akal siapa pun. Jika A adalah B maka A bukan B. Bagaimana akal membayangkan hal ini? Karena tidak dapat dibayangkan oleh akal maka pernyataan ini adalah pernyataan yang mustahil. Bahkan proposisi ini kontradiktif dengan dirinya sendiri. Derajat pertanyaan ini, dalam kasus lebih sederhana sebanding dengan pertanyaan "Jika sepotong roti itu wajib bertempat, bisakah ia berada di atas sekaligus di bawah meja?".
Jika jawabannya itu "Bisa" maka itu mustahil sebab akal tidak bisa membayangkan benda yang sama menempati dua tempat terpisah di saat yang sama. Namun jika jawabannya "Tidak Bisa" artinya roti itu tidak bertempat. Mirip bukan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Ini adalah pertanyaan yang salah karena mengaitkan proposisi yang wajib kepada hal yang mustahil. Pernyataan sepotong roti wajib bertempat itu benar, tetapi bertempatnya roti di atas sekaligus di bawah meja adalah hal yang mustahil.
Kontradiksi Substansi:
"Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Gak Jadi Manusia?". Anggaplah, sekali lagi kita anggap pertanyaan ini tidak mengandung kontradiksi proposisi (meskipun sudah kita buktikan sebaliknya).
Secara substansi pertanyaan ini mengandung beberapa unsur yaitu:
1. subjek pertama yaitu Tuhan
2. subjek pertama yang memiliki sifat Mahakuasa
3. subjek kedua yaitu manusia
4. subjek kedua yang memiliki sifat tidak Mahakuasa
5. transformasi atau perubahan dari subjek pertama ke subjek kedua
6. transformasi atau perubahan tersebut adalah perubahan wujud
Pertama, apakah wujud Tuhan dapat dibayangkan oleh akal? Jawabannya tidak. Maka membayangkan wujud Tuhan adalah hal yang mustahil. Perubahan hanya dimungkinkan secara akal jika dapat dibayangkan wujud awal sebelum berubah dan wujud akhir setelah berubah.
Mencairnya es misalnya, hal tersebut masuk ke dalam kategori mungkin secara akal. Karena akal dapat membayangkan wujud awalnya (es), perubahannya (meleleh) dan wujud akhirnya (air). Dalam kasus ini wujud awal (Tuhan) sejak awal sudah tidak bisa dibayangkan, maka meskipun wujud akhirnya dapat dibayangkan (manusia) perubahannya tidak dimungkinkan terjadi secara akal alias mustahil.
Kedua, sudah selayaknya bagi kita sebelum membahas apa itu sifat Mahakuasa, kita memahami dahulu apa pengertian dari sifat kuasa. Kuasa secara umum berarti kemampuan, kekuatan, atau wewenang untuk mengadakan atau meniadakan sesuatu. Karena sifat itu demikian adanya maka sesuatu itu harus bisa menerima keberadaan dan ketiadaan. Bisa ada dan tiada. Artinya sesuatu itu haruslah sesuatu yang mungkin.
Maka sifat Mahakuasa adalah sifat untuk mengadakan dan meniadakan sesuatu yang mungkin. Sesuatu yang wajib tidak menerima ketiadaan. Karena itu ia tidak bisa ditiadakan. Sesuatu yang mustahil tidak menerima keberadaan. Karena itu ia tidak mungkin diadakan.
Ketiga, maka pertanyaan "Kalau Tuhanmu Mahakuasa, Bisa Gak Jadi Manusia?" adalah pertanyaan yang keliru. Karena mengaitkan kuasa Tuhan untuk berubah wujud menjadi manusia adalah pengaitan sifat kuasa pada hal yang mustahil. Sebagaimana pernyataan "Apakah Tuhan berkuasa mengubah angka 2 lebih besar dari angka 4?".
Begitu juga dengan "Bisakah Tuhan menciptakan sesuatu seperti diri-Nya?". Pertanyaan ini salah karena mengaitkan kuasa pada sesuatu yang wajib. Sedangkan kuasa hanya terkait dengan segala sesuatu yang mungkin.