Satu Cerita tentang Logika
Suatu saat, Paiman, pemuda dusun asal Wonogiri yang sedang nyantri di salah satu pondok pesantren di Yogyakarta kehilangan sandal jepit kesayangannya waktu Jumatan. Merknya Swallow warnanya hijau. Masalahnya satu, seluruh santri di pondok pesantren itu sandalnya swallow warna hijau.
Jumatan berikutnya Paiman tak kehabisan akal. Ia sengaja datang belakangan saat santri-santri lain telah duduk mendengarkan ceramah khatib. Ia keluarkan spidol dari saku baju kokonya dan menulisi seluruh sendal swallow hijau di masjid dengan "Bukan Punya Paiman", kecuali sendalnya. Sehingga mulai sekarang untuk menemukan sandalnya, ia hanya perlu mencari swallow yang tidak ada "Bukan Punya Paiman"-nya. Ia pun bisa jumatan dengan tenang.
Mengetahu hal itu, dua hari kemudian pak Kyai Soleh, pemilik pondok pesantren, memanggil Paiman. Ia tidak marah, malah tertawa terpingkal-pingkal. Sambil menahan sakit perutnya karena geli, pak Kyai bilang: "Man, man. Kamu itu. Daripada nulisin "Bukan Punya Paiman" di ratusan sandal yang bukan punyamu apa ndak mending kamu tulisi "Punya Paiman" di sendalmu sendiri?". Paiman sadar dan ikutan ngakak.
Dua Dasar Hukum Islam
Hukum islam secara garis besar hanya dibagi menjadi dua yaitu ibadah dan muamalah. Asumsi dasarnya jelas, untuk ibadah khususnya ibadah mahdhoh yang tercantum dalam rukun islam seperti syahadat, shalat, zakat, puasa, haji, asumsi dasarnya adalah semua dilarang kecuali yang dibolehkan. Hukum modern menyebutnya positive list. Segala sesuatu yang dibolehkan harus ada dalilnya seperti asas hukum positif. Misalnya tidak boleh orang punya inisiatif agar tambah khusyu maka rakaat shalat subuhnya ditambah jadi empat rakaat. Atau karena gerakan shalat itu menyehatkan maka disela-sela takbiratul ihram sampai alfatihah kita tambahkan gerakan yoga. Hal-hal semacam itu jelas dilarang.
Sedangkan dalam hal muamalah, berlaku asumsi kebalikannya yaitu semua hal dibolehkan kecuali yang dilarang. Dengan kata lain negative list. Jadi dalam urusan muamalah, kita boleh melakukan sesuatu bukan karena ada dalilnya tapi karena tidak ada dalil yang melarangnya. Kita tidak perlu mencari dalil yang membolehkan memperbaiki pipa bocor. Kita cukup tau bahwa tidak ada dalil yang melarang memperbaiki pipa bocor.
Dua asumsi tersebut mengacu pada logika dasar semua A kecuali bukan A. Dalam konsep utilitarianisme, yang perlu dijabarkan adalah "bukan A"nya, bukan "A"nya. Bukan A dapat disubtitusi dengan B, C, D dst. Misalnya, daripada pemerintah membuat aturan "Semua orang tidak wajib bayar pajak kecuali yang kaya" lebih baik membuat aturan "Semua wajib bayar pajak kecuali yang miskin". Lalu diaturlah definisi "yang miskin" itu secara terperinci. Semua iya kecuali yang tidak.
Tiga Kebijakan yang Sesat Pikir
#Kebijakan Pertama: Lampu Motor Siang Hari
Pernahkah terlintas di pikiran mengapa pada siang hari yang terang benderang di negeri khatulistiwa yang merupakan negeri dengan jarak terdekat dengan garis edar matahari ini, pengendara sepeda motor wajib menyalakan lampunya?
Pada mulanya menyalakan lampu siang hari (Daytime Running Lights) disponsori oleh negara-negara Eropa Utara alias negeri-negeri Skandinavia. Pada tahun 1970-an banyak kecelakaan lalu lintas terjadi di sana. Ketika ditanya oleh polisi jawaban para pengendara mobil relatif sama "Saya tidak melihat ada motor".
Mari kita analisa, siapa yang ditanya? Mereka adalah pengendara mobil. Jamak diketahui bahwa mayoritas orang Eropa mengendarai mobil, bukan motor. Mengapa tidak lihat? Karena mereka negara Skandinavia. Negara itu memilikk curah hujan yang tinggi, cuaca mendung berkabut dan musim dingin yang panjang. Artinya logika menyalakan lampu motor siang hari di negara Skandinavia sangat logis, karena cahaya jalan di negara mereka redup walaupun siang. Mengapa yang diatur motor? Karena lebih efektif mengatur yang sedikit daripada mengubah yang banyak. Alih-alih membatasi kecepatan mobil yang jumlahnya banyak, pemerintah memilih untuk menyuruh menyalakan lampu pada sepeda motor yang jumlahnya sedikit. Sesuai asas utilitarianisme, ini lebih praktis.
Bagaimana dengan Indonesia yang menelan mentah-mentah kebijakan Eropa tersebut. Apakah relevan? Tentu tidak. Pertama, mayoritas disini adalah pengendara sepeda motor. Sehingga kebijakan harusnya mengatur tentang lampu mobil untuk melindungi mobil dari risiko tertabrak motor. Seperti halnya Eropa yang melindungi motor dari risiko tertabrak mobil. Kedua, cahaya tidak diperlukan saat terang. Negeri ini tidak ada musim dingin dimana matahari tidak terbit. Misal pada suatu siang anda sedang berjalan di trotoar apakah untuk mengindari tabrakan dengan orang lain, anda harus menyalakan flashlight handphone anda?
#Kebijakan Kedua: Sertifikasi Halal
Sejak kapan sertifikasi halal itu ada? Merujuk pada buku Rethinking Halal: Genealogy, Current Trends, and New Interpretations, pelopor dari sertifikasi halal adalah para imigran Lebanon yang bermukim di Argentina pada akhir dekade 1960. Dilanjutkan dengan Iran pada 1979 yang ingin memastikan daging sapi yang diimpornya dari New Zealand telah dipotong sesuai syariat Islam. Pada abad ke-21, seiring dengan berkembangnya perdagangan dan globalisasi, sertifikasi halal semakin diperlukan oleh komunitas muslim yang tinggal khususnya di negeri-negeri berpenduduk nonmuslim di benua Eropa dan Amerika.
Asumsinya jelas: Semua A kecuali bukan A. Di Eropa dan Amerika, asumsi yang dipakai adalah semua makanannya haram kecuali yang halal. Karena mayoritas makanannya haram maka di negeri-negeri berpenduduk nonmuslim jelas diperlukan sertifikasi halal. Ingat, seperti kasus sepeda motor tadi, yang diatur adalah yang minoritas. Itu alasannya mengapa yang diperlukan adalah sertifikasi halal, bukan sertifikasi haram. Kalau yang disertifikasi adalah yang haram, betapa tidak efisiennya dunia perijinan disana.
Lain halnya dengan Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar kedua setelah Pakistan. Ya, penduduk muslim Indonesia sekarang sudah bukan yang terbanyak. Di Indonesia mayoritas penduduknya muslim. Maka asumsi dasarnya setiap makanan adalah halal kecuali yang haram. Sehingga yang dibutuhkan di Indonesia sebenarnya adalah sertifikasi haram, kebalikan dari Eropa dan Amerika.
#Kebijakan Ketiga: PPN 12% Untuk Barang Mewah
Sebenarnya sejak awal pemerintah Indonesia memang berniat menaikkan PPN menjadi 12% atas semua jenis barang, baik mewah maupun tidak. Namun, karena mengalami berbagai penolakan, pemerintah memutuskan untuk mengenakannya terbatas pada barang mewah saja. Barang selain itu, alias yang tidak mewah tetap dikenai PPN 11%. Terlihat adil bukan? Ya, secara materi. Tapi secara teknis tidak.
Teknisnya pemerintah mencoba mengutak-atik dasar pengenaan pajak agar tarif PPN tetap naik 12% namun nilai PPN terutangnya tetap 11%. Caranya dengan membuat rumus baru yaitu semula dasar pengenaan pajak adalah harga jual menjadi dasar pengenaan pajak adalah harga jual dikalikan 11/12. Hasilnya secara net sama, 11% dari harga jual. Rumus baru tersebut dikategorikan dalam kelompok Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain. Padahal nilai lain disebut lain karena ada yang umum, sedangkan yang umum diubah semua ke nilai lain. Kalau begitu, nilai lain itu lain daripada apa?
Yang jadi masalah adalah para pengusaha harus menyesuaikan dasar pengenaan pajaknya per faktur. Petugas pajak harus menggross up DPPnya untuk mengetahui harga jual. Dan peredaran usaha SPT Tahunan PPh tidak equal lagi dengan penyerahan SPT Masa PPN. Beban administrasi baru muncul karena pemerintah mencoba mengakali tarif, seolah-olah naik padahal tidak.
Jika memang dari semula target kenaikan PPN menjadi 12% itu hanya ditujukan kepada barang mewah, maka perlu diingat bahwa setiap barang mewah itu telah dikenai PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah). Artinya, jika asas utilitarianisme benar-benar digunakan oleh pemerintah maka seharusnya yang dinaikkan adalah tarif PPnBMnya saja, bukan PPNnya. Tidak ada administrasi tambahan, outputnya sama.