Di dalam negara demokrasi seharusnya tidak ada demonstrasi. Demonstrasi merupakan sarana rakyat untuk menunjukkan rasa tidak setuju terhadap keputusan penguasa. Demonstrasi juga dapat diartikan peragaan atau pertunjukan tentang cara melakukan atau mengerjakan sesuatu. Dalam hal ini, yang diperagakan dan ditunjukkan adalah rasa tidak setuju. Saya rasa sangatlah pas Bahasa Indonesia memilih kata “unjuk rasa” sebagai padanan kata “demonstrasi”. Demonstrasi ada untuk menunjukkan bahwa ada kebijakan yang tidak disetujui oleh rakyat. Sedangkan negara demokrasi seharusnya tidak memungkinkan adanya kebijakan semacam itu.
Kita secara keliru memaknai bahwa
dengan masih dibolehkannya demonstrasi, berarti suatu negara masih demokratis.
Seolah-olah demokrasi disimbolkan dan disederhanakan dengan dibolehkannya kritik
terhadap penguasa. Dalam perspektif otoritarianisme—yang kecinderungan penguasa
melakukannya, pandangan seperti itu dapat dibenarkan. Agar penguasa tidak dicap
otoriter oleh masyarakat. Tetapi sesungguhnya, masih adanya demonstrasi
menunjukkan bahwa demokrasi yang ada di suatu negara belumlah sempurna. Kebelumsempurnaan
demokrasi tersebut yang akhirnya membuat kebijakan penguasa berbeda dari yang
dikehendaki rakyat.
Perlu diingat bahwa dalam
sejarahnya, demonstrasi ada untuk memprotes kekuasaan monarki. Dahulu, kekuasaan
dilegitimasi oleh raja. Titah raja merupakan perintah yang absolut untuk
rakyatnya. Dan kita akhirnya tahu, kekuasaan cinderung membawa kerusakan dan
kekuasaan yang absolut cinderung membawa kerusakan yang absolut pula. Power tends to corrupt, absolute power tends
to corrupt absolutely. Rakyat melawan. Rusaknya kekuasaan yang absolut
itulah yang sebenarnya rakyat lawan hingga kini, dulu dengan senjata, kini
dengan demonstrasi. Maka demonstrasi bukanlah ciri negara demokrasi, tapi ciri
perlawanan terhadap keabsolutan kekuasaan.
Gaung adagium suara raja, suara
tuhan (vox rei vox dei) dari kastil
dan istana dibungkam dengan gaungnya suara rakyat, suara tuhan (vox populli vox dei) yang menggema di
jalanan, tempat yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya akan melahirkan
perlawanan. Dan menang.
Kekuasaan baru dibentuk. Dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tetapi kekuasaan rakyat sekalipun butuh
simbol. Maka lahirlah negara dan pemerintahan. Sebuah kekuasaan baru yang
akhir-akhir ini sulit dibantah karena dilegitimasi oleh rakyat sendiri. Dan setiap
beberapa tahun sekali, suara rakyat yang melegitimasi kekuasaan menjadi suara
paling seksi untuk diperebutkan. Peraturan dibuat, hukum ditegakkan dan
kekuasaan diteguhkan. Keabsolutan kekuasaan selalu menemukan cara kembali ke
tempat ia semula bertahta. Demonstrasi ada tapi tak berarti, karena kekuasaan
yang rakyat tolak keabsolutannya adalah kekuasaan yang sama, yang rakyat pilih
sebelumnya untuk menjadi absolut.
Maka dari itu, demonstrasi
seharusnya hanya ada di negara monarki. Tapi tidak dengan rakyat. Kekuasaan
dalam kesendiriannya memang selalu perlu teman –dalam hal ini rakyat, untuk
dikuasai dan sebagai pihak lain sekaligus saksi atas adanya kekuasaan. Karena
tanpa adanya pihak lain yang dikuasai, kekuasaan hanyalah hal imajiner yang
senantiasa masygul dan kesepian. Atas dasar itulah, seperti dalam novel Pangeran
Kecil (Le Petit Prince) karya Antonie
de Saint-Exupery, alkisah di sebuah planet yang kosong, ada seorang raja yang berkuasa.
Ada suatu adegan yang menarik ketika sang raja memohon kepada Pangeran Kecil
untuk tidak meninggalkannya sendiri dengan iming-iming akan dijadikan perdana
menteri. Karena tanpa Pangeran Kecil –sebagai subjek yang dikuasai dan mengakui
adanya kekuasaan, raja bukanlah siapa-siapa dan titahnya tak berarti apa-apa.