Sudah kebiasaan manusia merencanakan, dengan optimisme akan kepastian yang berlebihan. Manusia membuat rencana, berusaha, berhasil dan bergembira walaupun seringnya gagal dan kecewa. Karena manusia berharap kepada kepastian. Bahwa rencananya akan berjalan mulus tanpa ada gangguan. Seringkali, dalam pengharapannya itu, manusia melupakan Dia, satu-satunya yang bisa mewujudkan impian jadi kenyataan.
Manusia membuat rencana, membuat prognosa. Seolah-olah apa yang ia rencanakan di hari esok pasti akan terjadi. Ketika rencananya tak berbuah manis, ia kecewa sendiri. Mukanya jadi tak ramah, kepada bawahan marah-marah. Mereka yang punya harapan, orang lain yang di salah-salahkan. Padahal, jangankan rencana, hari esok itu sendiri bisa jadi tidak pernah datang.
Manusia tidak tahu berapa lama cangkang tubuhnya sanggup menahan rohnya. Bisa jadi, sebelum besok, empat jam atau satu menit lagi, dia mati. Atau bisa jadi sebelum besok, kiamat terjadi. Siapa yang tahu? Maka memastikan rencana, agenda, prognosa di hari esok, dengan level sampai yakin pasti terjadi adalah sejenis perilaku yang kelewatan.
Ada masa ketika dulu, manusia menyembah Batara Kala, manifestasi sang waktu. Di hadapannya, manusia sadar kalau hidupnya itu ada di hari ini, di sini dan di saat ini. Manusia tertunduk malu, ketika ia merencanakan apa yang pasti terjadi di hari esok, dihadapan sang waktu. Di masa itu, manusia lebih tahu diri dan sadar diri. Menjadikannya rendah hati. Lalu manusia tahu-atau diberitahu- bahwa waktu memiliki permulaan, maka dari itu ia bukan Tuhan. Tuhan tidak memiliki permulaan dan akhir. Sehingga manusia menginggalkan Batara Kala, berikut kerendahhatian yang pernah dimilikinya. Sebuah ironi, manusia menyembah Tuhan yang lebih tinggi, yang Maha Tinggi, dengan hati yang sama tingginya.
Ada istilah dalam bahasa Jawa, nerimo ing pandum, menerima sesuai pemberian. Pandum itu tidak sekadar pemberian, tapi pemberian yang telah ditakar. Siapa yang menakar? Tentulah Dia yang Maha Pemberi. Pandum dalam pengertian lain bermakna jarum jam yang menunjukkan detik. Artinya, narimo ing pandum dapat juga berarti menerima segala apa yang waktu berikan kepada kita. Disini dan sekarang, ketika detik bergerak dan waktu berdentang.
Pemberian sang waktu ini, oleh orang Jawa kuno, dianggap sebagai hadiah. Dan selayaknya hadiah, ia patut dirayakan dan disyukuri. Dirayakan dengan raga yang mengurusi urusan bumi, dan disyukuri dengan jiwa yang memikirkan urusan langit. Sekarang, saat ini adalah waktu ketika manusia benar-benar hadir di dunia. Manusia hadir dari masa lalu, tapi saat ini, masa lalu itu sendiri sudah tidak ada. Manusia akan menghadiri masa depan, tapi sekarang, yang bernama masa depan itu masih belum ada. Dia masa lalu maupun masa depan, manusia tidak lagi dan belum hadir. Manusia hadir pada saat ini, sekarang.
Konsep waktu sebagai hadiah ini, secara tidak langsung juga diakui oleh manusia modern dari Eropa. Mereka menamai sekarang atau saat ini dengan present, hadiah. Atau kehadiran.
Bukan berarti manusia tidak boleh merencanakan apapun. Mau bagaimanapun, rencana adalah bagian dari usaha. Dan wajib bagi manusia untuk berusaha. Ada yang mengatakan rencana yang baik adalah separuh keberhasilan. Agama manapun membenci kemalasan. Tidak ada yang salah dalam merencanakan sebaik mungkin, sesempurna mungkin. Yang salah adalah memastikan, dengan tingkat keyakinan yang menyerupai iman, bahwa rencana tersebut pasti terwujudkan. Pasti itu masalah. Memastikan itu problem.
Mereka mengaku beriman kepada yang gaib, tetapi berani memastikan hari esok akan terjadi sesuai rencana yang mereka buat. Atau rencana mereka pasti terjadi di hari esok. Mereka lupa bahwa esok, disini dan disaat ini, itu belum ada. Tidak ada. Biarkan hari esok, yang mereka pasti-pastikan itu menjadi urusan-Nya, rahasia-Nya. Biarkan rasa ketidaktahuan tentang hari esok itu menjadi misteri bagi kita, sehingga ketika ia benar-benar datang dan terungkap, kita diliputi rasa takjub yang senantiasa.