Kami tinggal dalam satoe kampong jang ketjil jang terseboet Toegoe, dan ada dalam bilangan district Beccasie afdeeling Meester Cornelis. Kampong Toegoe itu ada dekat pinggir laoet dan hawa oedara disana ada panas. Aer boewat minoem itoe soesah sebab seomoer-omoer banjak jang aernja asin. (Schurchardt, 1892)
Kampung Tugu. Sebelum pindah ke Kalimantan, selama tiga tahun saya tinggal disana. Mengalami macetnya, mendengar bisingnya dan kadang menggerutu tentang teriknya Jakarta. Banyak kenangan yang tidak mungkin saya lupakan. Sewaktu di kampung itu, Tugu Utara, saya menikah dan saat tinggal disanalah, Ranindhita, anak pertama kami lahir.
Juga pertemuan saya dengan seorang driver ojek online. Suatu ketika, selesai dari suatu urusan yang saya lupa apa itu, saya memesan jasa ojek online untuk pulang. Datanglah mobil berwarna putih menjemput saya. Begitu naik, saya disapa oleh seorang driver dengan rambut gondrongnya yang terikat, segondrong Didi Kempot dengan tubuh yang sedikit lebih gempal. Sembari ngobrol kesana kemari, pedal gas dia injak kalem sehingga mobil kami berjalan pelan menyusuri kemacetan siang itu.
Untuk menghilangkan rasa bosan, dia memutarkan musik melalui sebuah flashdisk yang dicolokkan ke head unit yang tampaknya telah dimodifikasi. Sayup-sayup terdengar musik yang tidak asing di telinga, Keroncong. Sontak saja saya minta untuk dikencangkan suaranya. Sebagai orang Jawa, keroncong adalah hal yang lumrah diputar dan didengarkan orang-orang di desa saya. Bahkan kakek saya adalah pengagum Gesang dan Soendari Soekotjo, dua maestro kroncongnya Indonesia. Sampai sekarang, bagaikan sebuah mitos, keluarga saya meyakini bahwa tidak ada yang bisa menandingi kakek dalam membawakan lagu 'Bengawan Solo'-nya Gesang.
Namun ada yang aneh dari lagu yang diputarkan driver saya itu. Meski jelas-jelas itu adalah lagu keroncong, saya tidak mengenali liriknya sama sekali. Nadanya sama dengan 'Bunga Anggrek' yang dibawakan Soendari Soekotjo. Hanya itu yang saya tahu. Saya bertanya ke driver saya apa judul lagunya. Ternyata nomor itu berjudul Als de Orchideen Bloeien atau dikenal sebagai De Orchideen. Yang secara literer artinya memang bunga anggrek.
Liriknya dalam bahasa Belanda. Dan saya—yang saat itu salah paham dan mengira bahwa musik keroncong itu berasal dari Jawa Tengah khusunya Solo atau Yogyakarta—merasa aneh kalau lagu keroncong dinyanyikan dengan bahasa selain bahasa Jawa atau bahasa Indonesia. Lalu, mulailah rasa penasaran saya muncul.
"Mas, suka keroncong ya?", saya membuka obrolan.
"Iya mas, itu genre musik favorit saya."
"Oh..Masnya asli sini?"
"Iya, kelahiran sini, saya orang Jakarta asli. Kalau mas?"
"Wuihh..Jarang lho mas, orang Jakarta tapi seneng keroncong, musik Solo", saya melanjutkan "Kalau saya dari Wonogiri mas, dekete Solo. Di Jawa, musik keroncong terkenal banget. Sering diputer kalau ada hajatan. Sunatan dan orang nikahan. Musik Jawa Tengah itu emang enak bukan main di telinga.", sedikit usil saya banggakan ke-jawa-an saya di depan driver saya itu.
Dia saya diam sejenak lalu melanjutkan, "Sebenernya mas, musik keroncong itu asli sini. Musik khasnya Kampung Tugu."
Modyarr. Kualat rekk. Saat itu saya tidak dapat berkata apa-apa kecuali, "Heeeh?"
Lalu dengan kalem driver saya itu menjelaskan sejarah keroncong di Indonesia. Setelah dipadukan dengan hasil browsing-an saya kurang lebih begini ceritanya:
***
Himpunan Orkes Poesaka Krontjong Morescho Toegoe kini bernama Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, yang dikenal Krontjong Toegoe telah berdiri sejak 1661, jauh sebelum negara ini merdeka. Bahkan kata merdeka, selain berasal dari kata mahardhika, yang berarti kuat, juga seakar kata dengan mardjiker, istilah Belanda untuk menyebut tahanan Portugis yang dibebaskan.
Keroncong Tugu lahir dari masyarakat keturunan Portugis yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Menurut Guido Quiko—pemimpin Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, disamping Andre Juan Michels—ketika Malaka jatuh ke tangan Belanda pada 1641, sekitar 800 tawanan Portugis diasingkan ke Batavia. Beberapa dari mereka berlabuh di pelabuhan Cilincing. Di tahun 1661, dua puluh tiga keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak asal mereka mau berpindah keyakinan dari Katolik ke Protestan. Sejak itu mereka disebut sebagai de Mardjikers, orang-orang bebas.
Di area seluas 20 hektar di perbatasan Bekasi orang-orang Portugis itu tinggal, wilayah itu sekarang dikenal sebagai Kampung Tugu yang konon berasal dari kata port-tugu-ese. Sejak konversi agama itu, banyak nama fam Portugis kemudian diubah menjadi nama fam Belanda seperti Andres, Cornelis, Mihils, Abraham dan Browne. Kecuali fam Quiko, karena saat itu sesepuh dari fam Quiko seorang penginjil dari Gereja Katolik.
Untuk menikmati hiburan, mereka harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh dan melalui hutan lebat, ke Kota Tua. Karena rasa haus akan hiburan itu, mereka membuat alat musik sendiri yang dibuat dari batang kayu dari beberapa jenis pohon antara lain nangka, kenanga dan waru. Mereka membuat gitar kecil menyerupai tapakkunyo—alat musik tradisional Portugis. Mereka menyebutnya jitera, prunga dan macina. Jitera atau guitar adalah alam musik petik yang berukuran paling besar, prunga yang berukuran sedang dan yang terkecil disebut macina. Terbuat dari kayu yang dibobok di bagian tengah dan diberi senar dari kulit pohon. Kombinasi ketiga alat musik ini menghasilkan bunyi krang...krang..crong..crong. Ketika mereka sedang memainkannya, orang Betawi di masa itu menyebutnya: “orang Tugu lagi krang-krong, crang-crong”. Pada perkembangan selanjutnya, dari bunyi tersebutlah musik itu dinamakan keroncong.
Mereka memainkan alat musik itu pada saat musim panen. Karena keindahan bunyinya, lama-kelamaan tiap musim panen orang Betawi dan orang Belanda datang ke Kampung Tugu untuk mendengarkan mereka main musik dan bernyanyi. Seringkali orang Betawi ikut bermain musik dengan suling dan rebananya. Juga orang Belanda dengan ukulele dan bassnya. Dengan berbagai latar belakang dan bahasa yang berbeda orang-orang berkumpul di Kampung Tugu tiap panen raya. Mereka tidak paham bahasa satu sama lain dan hanya ada satu bahasa yang dapat menyatukan mereka: Musik.
Selain kerap dipanggil ke Istana Negara untuk menyambut tamu kenegaraan dari Portugal, grup musik itu juga sering tampil ke mancanegara, antara lain: Timor Leste, Malaka, Jepang dan Belanda. Krontjong Toegoe sempat diundang untuk menjadi bintang perayaan lima tahun penetapan musik Fado sebagai warisan budaya dunia di Lisbon, Portugal. Mereka memainkan musik keroncong dan berbicara di forum internasional bahwa musik keroncong itu berasal dari Indonesia, dari Kampung Tugu.
***
Saya melanjutkan browsing karena semakin penasaran tentang grup musik Krontjong Toegoe ini. Ternyata mereka mengadakan latihan setiap hari Selasa malam di rumah Guido Quiko di Jalan Raya Gereja Tugu No.7, Jakarta Utara, tidak jauh dari rumah saya. Tempat latihan mereka terbuka untuk umum. Iseng-iseng juga saya cari siapa saja personel dari grup musik legendaris ini, lalu muncul sebuah foto. Pertama muncul foto sang maestro, Guido Quiko dan Andre Juan Michels. Dibelakangnya, kedua dari kanan, ada seorang personel senior yang memainkan cello. Seorang gondrong dengan rambut terikat, mirip Didi Kempot yang agak gempal. Tidak asing. Saat itu saya hanya mbatin, "Asemmm, ngertio tak jaluki tanda tangan."