Diskripsi Blog

...mintalah bantuan kepada tangan kananmu. Dan lelaki itu membuat tulisan dengan tangannya.

Sego Jumat

Rasa-rasanya, lima tahun terakhir ini begitu marak adanya berbagai kegiatan dengan tema berbagi, khususnya makanan. Kegiatan seperti Jumat Berbagi, Jumat Berkah, Nasi Gratis, Sego Jumat dan sebagainya bukan hal yang asing lagi di telinga. Berbagai macam kegiatan tersebut muncul begitu saja. Murni organik dan sporadis. Tidak masuk ke pembahasan RAPBN. Tidak pernah jadi agenda parpol manapun. Bukan merupakan isu strategis di Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 tahunan maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 tahunan yang disusun para menteri. Semuanya murni kesadaran kolektif dari kaum akar rumput. 

Walaupun saya tidak ketemu logikanya mengapa Rencana Pembangunan Jangka Panjang yang 20 tahunan itu, disusun oleh menteri sebagai wakil pemerintah yang masa aktifnya hanya mentok 5 tahun--atau 10 tahun jika presiden terpilih kembali-- dengan asumsi tidak ada reshuffle kabinet? Bukankah lebih masuk akal jika yang menyusun adalah MPR sebagai wakil negara, yang dalam hal ini sebuah negara, umurnya lebih langgeng dari sebuah pemerintahan? Sehingga rencana jangka panjang tersebut dieksekusi oleh presiden sebagai kepala pemerintahan di bantu para menteri dalam kabinet yang dipilihnya sesuai posisinya yaitu pihak eksekutif? Namun, saya tidak ingin membahas hal ini. Saya ingin membahas tentang nasi. Dan tentang berbagi.

Kembali ke urusan berbagi makanan tadi. Kegiatan ini layak diacungi jempol meskipun kelihatannya sepele. Apalah arti berbagi beberapa bungkus nasi dengan telur dadar dan orek tempe yang dikareti gelang ini dihadapan isu-isu besar para wakil rakyat seperti kesejahteraan, ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan? Ya, di hadapan mereka, kegiatan ini memang tidak ada artinya. Tapi ini soal makannya orang yang tidak kuat menebus harga makanan di tengah menggaungnya isu besar tentang kesejahteraan. Ini soal sesuap nasi yang tidak mampu ibu-ibu beli, karena harga beras makin melambung tinggi di saat dimana-mana terdengar teriakan tentang ekonomi kerakyatan. Ini soal memberi makan orang miskin di tengah nggegirisi-nya wacana tentang pengentasan kemiskinan.

Bagi orang yang tidak mampu, bisa makan atau tidak itu pertaruhan urusan hidup dan mati. Di dunia, setiap 4 detik ada 1 orang yang meninggal karena kelaparan. Tahun lalu, Presiden Jokowi mengumumkan ada 19.600 orang setiap hari mati kelaparan karena krisis pangan. Jangan dikira orang mati kelaparan itu tidak ada di negara ini. Berdasarkan data GHI (Global Hunger Indeks), Indonesia menempati urutan ke 3 dengan tingkat kelaparan paling tinggi di Asia setelah Timur Leste dan Laos. Kalau melihat data ini, di hadapan dunia, berbagi nasi bungkus menjadi tidak lagi sepele.

Munculnya kesadaran berbagi di level akar rumput ini, disamping secara nyata mengurangi atau setidaknya tidak menambah angka kelaparan di masyarakat, juga merupakan tuntutan spiritual-religius yang semestinya dipenuhi. Bukankah orang yang mendustakan agama adalah yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin? Bukankah orang yang celaka adalah orang yang lalai dalam shalat dan orang yang lalai dalam shalat adalah orang yang berpamer harta dan tidak memberikan pertolongan? Orang yang tidak beragama pun tahu kalau tidak ada yang salah dalam hal memberi makan orang kelaparan.

Adalah suatu adat setiap orang kafir Quraisy menjamu tamu dengan hidangan yang lezat dan terkesan mewah. Biasanya disajikan dalam loyang besar menyerupai acara jamuan makan saat prasmanan. Atau kalau di Jawa, dikenal dengan istilah kenduren. Mereka melakukan ini untuk menunjukkan budaya mereka yaitu ramah dan santun dalam menghormati tamu. Acara jamuan makan besar ini dalam bahasa Arab disebut adab. Kata ini akhirnya diserap ke dalam Bahasa Indonesia yang disejajarkan dengan budi-pekerti, perilaku ramah-tamah atau sopan-santun. 

Menuliskan semua ini saya jadi teringat satu kisah dalam kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam Ghazali. Suatu malam, rumah Nabi Ibrahim kedatangan tamu. Seorang Majusi tua yang kehabisan bekal mengetuk pintu rumahnya untuk meminta makanan. Majusi adalah agama kuno yang menyembah dewa Api. Setelah mendengarkannya, Nabi Ibrahim bersedia memberinya makanan dengan satu syarat, majusi tua itu harus mau memeluk Islam dan meninggalkan agamanya. Tentu majusi tua itupun menolak. Segera ia tinggalkan rumah Nabi Ibrahim dan berlalu.

Tuhan pun berfirman dan menegur Nabi Ibrahim: "Mengapa engkau enggan memberikan sebagian rezeki yang Kami berikan kepadamu (makanan) kepadanya kecuali ia mengganti keyakinannya? Sedangkan Kami, sang Maha Pemberi Rezeki, selama 70 tahun memberinya makanan padahal ia kufur?"

Nabi Ibrahim merasa bersalah dan mengejar majusi tua itu di kegelapan malam. Setelah mereka bertemu, Nabi Ibrahim meminta maaf dan menceritakan bahwa ia baru saja ditegur oleh Tuhan atas kekeliruan sikapnya. Majusi tua itupun diajak kembali ke rumah Nabi Ibrahim untuk menikmati jamuan makan malam. Di tengah perjalanan, majusi tua itu berkata, " Wahai Ibrahim, apakah benar demikianlah Tuhanmu memperlakukan aku? Jika demikian, terangkanlah kepadaku tentang Islam."

Sejak saat itu, pintu rumah Nabi Ibrahim selalu terbuka bagi siapa saja yang membutuhkan makanan dan perbekalan. Bahkan Nabi Ibrahim tidak pernah makan kecuali ditemani. Beliau pernah berjalan bermil-mil hanya untuk mencari orang yang mau menemani makan. Sebegitu inginnya Nabi Ibrahim memberikan makanan kepada orang lain. 

Sejak saat itu pula, Nabi Ibrahim bergelar Khalilullah, kekasih Allah. Bukan karena beliau adalah seorang Ketua Parpol, DPR, Menteri ataupun Presiden. Ketika malaikat datang mengabarkan kedudukan mulia ini, Nabi Ibrahim bertanya, "Mengapa aku?". Malaikat pun menjawab, "Karena engkau memberi makan manusia lain dan tidak berharap apapun dari mereka." Kalau melihat kisah ini, di hadapan Tuhan, kegiatan bagi-bagi nasi bungkus, tidak pernah sepele.

Related Posts