Diskripsi Blog

...mintalah bantuan kepada tangan kananmu. Dan lelaki itu membuat tulisan dengan tangannya.

Bisma

 

Pada mulanya adalah delapan Wasu, dewa-dewa yang mewakili unsur alam semesta. Mereka adalah Agni-Api, Phrtiwi-Tanah, Bayu-Angin, Antariksha-Atmosfer, Aditya-Matahari, Dyahu atau Phrabasa-Langit, Chandra-Bulan, Dhruwa atau Nakstrani-Gugusan Bintang. 
 
Di suatu pagi, Dyahu dan istrinya sedang berjalan di sebuah padang rumput yang luas. Dilihat oleh istrinya seekor sapi liar yang sangat menarik hati. Warnanya putih berkilau bak mutiara. Kulitnya bersih mengkilat tanpa noda. Ia pun meminta suaminya, sang Dewa Langit, untuk menangkap sapi itu. Demi rasa cintanya, sang suami pun menuruti permintaan istrinya. Namun alangkah sial, ternyata sapi itu bukanlah sapi liar, tetapi merupakan sapi suci, Nandhini, milik seorang begawan bernama Rsi Wasistha.

Tidak terima dengan apa yang dilakukan Dyahu, Rsi Wasistha menghadap Batara Indra agar bersedia menghukumnya agar ia dapat merasakan penderitaan dan kesusahan manusia, seperti yang dirasakan Rsi Wasistha. Ia menuntut agar delapan Wasu tersebut dihukum menjadi manusia. Dyahu dihukum karena mencuri sedangkan ketujuh Wasu lain dihukum karena mereka diam saja padahal mereka mengetahui aksi pencurian yang dilakukan saudaranya itu. Di hadapan Batara Indra, para Wasu setuju untuk menjalani kehidupan sebagai manusia namun dengan satu syarat. Apabila mereka meninggal, mereka akan bebas dari siklus reinkarnasi dan langsung menjadi dewa seperti semula. Batara Indra pun menyetujuinya.

Saat turun ke dunia untuk menjadi manusia, para Wasu itu berjumpa dengan Dewi Gangga. Ternyata ia juga sedang dihukum karena terpikat oleh pesona dari Raja Mahabhisak. Menurut Batara Indra, sebagai makhluk kahyangan, tidak seharusnya ia terpesona olah wajah manusia. Maka untuk menebus kesalahannya, ia harus menjelma menjadi manusia dan menikahi reinkarnasi dari Raja Mabishak, yaitu Prabu Sentanugenerasi ke sembilan belas wangsa Bharata, penerus dinasti Kurudan memberikannya keturunan.

Akhirnya mereka bersepakat untuk bekerjasama. Delapan Wasu tersebut akan menjadi anak-anak Dewi Gangga dan harus segera dibunuh. Dengan begitu hukuman para Wasu untuk menjadi manusia sebenarnya sudah terpenuhi dan hukuman Dewi Gangga untuk memberikan keturunan Prabu Sentanu juga terpenuhi.

Di suatu sore, saat Sentanu berjalan-jalan di tepi sebuah sungai, dari dalam air muncul seorang wanita. Cantik parasnya seelok rembulan saat purnama. Halus kulitnya bagaikan batu pualam.  Ia memperkenalkan diri dengan nama Gangga. Sejak saat itu sungai tersebut dinamai dengan namanya. Tidak berapa lama, Sentanu melamarnya untuk dijadikan permaisuri. Gangga bersedia dengan satu syarat, Sentanu tidak akan mempertanyakan apa yang akan dilakukan Gangga terhadap anak-anaknya. Karena sudah dimabuk asmara, tanpa pikir panjang Sentanu mengiyakan.

Sebanyak tujuh putra telah lahir dari rahim Gangga. Setiap anak yang lahir, ia membuangnya ke sungai. Begitulah yang ia lakukan sejak kelahiran anak pertama. Pada waktu Gangga melahirkan anak kedelapan, Sentanu tidak kuat menahan diri melihat kekejaman istrinya. Ia bertanya mengapa anak-anaknya harus ditenggelamkan ke sungai. Gangga kemudian menyampaikan kisah para Wasu yang minta tolong kepada dirinya agar mereka tidak usah berlama-lama hidup di dunia. Sedangkan bayi kedelapan tidak dibuang ke sungai dan harus hidup di dunia karena ia adalah titisan Dyahu, Wasu yang paling bertanggung jawab atas dicurinya sapi Resi Wasistha. 

Karena Sentanu telah melanggar janjinya, maka Gangga kembali ke kahyangan. Ia naik ke kahyangan dengan membawa anak ke delapan dan berjanji akan mengembalikan anak itu jika anak itu telah selesai menerima pendidikan dari para dewa.

Setelah dewasa, anak kedelapan tersebut dikembalikan kepada Sentanu. Dewa-dewa di kahyangan memberinya nama Dewabrata yang berarti "saudara para Dewa". Nama itu disematkan kepadanya karena kesaktiannya setarabahkan melebihikesaktian para dewa. Jika laskar dewa dan laskar asura bergabung untuk mengalahkannya, sungguh mereka tidak akan mampu, sekalipun laskar itu dipimpin langsung oleh Batara Indra, sang Dewa Perang. Bahagia hati Sentanu melihat putranya yang kini telah dewasa kembali dengan kesaktian yang luar biasa. Dewabrata menjadi anak kesayangan Sentanu. Ia adalah putra mahkota yang digadang-gadang akan menjadi raja selanjutnya. Raja dari kerajaan yang bernama Hastinapura.

Setelah sekian lama ditinggalkan Dewi Gangga, Sentanu akhirnya jatuh cinta kepada seorang putri nelayan bernama Setyawati. Ia bertemu dengannya pada saat menyeberangi sungai Yamuna. Setyawati ini merupakan seorang janda yang telah berputra Abyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Resi Parasara. Ia hanya mau kawin dengan Sentanu, apabila putra yang dilahirkannya kelak menjadi putra mahkota. Diambang kebingungan, Sentanu menolak. Karena yang berhak menjadi putra mahkota adalah Dewabrata.

Setiap hari Sentanu mengurung diri di kamarnya karena cintanya tak kesampaian. Sudah berminggu-minggu ia tidak bicara kepada siapa pun dan tidak memakan apa pun. Lama-kelamaan kesehatan Sentanu pun menurun. Tidak tega melihat ayahnya yang sakit-sakitan, Dewabrata berangkat menuju desa nelayan dan bertemu dengan Dasabala, ayah Setyawati. Atas nama ayahnya, Dewabrata melamar perempuan itu. 

Dasabala memberikan syarat yang sama, yaitu keturunan Setyawatilah yang akan menjadi putra mahkota. Dewabrata menyanggupinya, ia rela tahta putra mahkota jatuh ke anak-anak Setyawati. Namun, Dasabala tidak percaya begitu saja. Kalaupun Dewabrata bersedia mengalah, maka anak keturunan Dewabrata tetap dapat menuntut haknya untuk menjadi raja Hastinapura.

Dewabrata adalah seorang kesatria yang berjiwa besar, demi baktinya kepada orang tua dan juga terhadap Hastinapura, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, dia mengambil sumpah selibat. Di depan Dasabala, disaksikan oleh dewata, ia bersumpah tidak akan kawin selama hidupnya. Guntur bergemuruh, kilat menyambar bertubi-tubi seakan langit akan terbelah tanda bahwa dewata memberikan restunya. Sumpah itu disebut bishan-pratigya, sebuah janji untuk tidak akan ternoda. 

Pengorbanan Dewabrata tersebut membuat ia dijuluki dengan nama Bisma, yang berarti "ia yang memikul sumpah yang luar bisa beratnya". Pengorbanan yang begitu besar itu membuat seluruh penghuni kahyangan terharu. Ia diberi anugerah untuk bercengkerama dengan Kala, manifestasi sang waktu, sehingga dapat menentukan sendiri kapan ajalnya tiba. 

Dalam Mahabharata, dengan tubuh dipenuhi anak panah Arjuna, Bisma masih tetap hidup sampai pihak Kurawa dikalahkan dan Pandawa beroleh kemenangan. Ia memilih meninggal ketika uttarayana, saat matahari terbit dari utara. Sebuah tanda permulaan zaman baru, zaman kemakmuran ketika peperangan telah tergantikan dengan secercah sinar harapan.


Related Posts