Diskripsi Blog

...mintalah bantuan kepada tangan kananmu. Dan lelaki itu membuat tulisan dengan tangannya.

Burung



Seiring dengan dipilihnya sangkar menjadi simbol keterkungkungan, maka terbangnya burung menjadi simbol kebebasan. Pertanyaannya, seberapa tinggi? Sayap yang bebas itu tidak lantas terus mengepak, membawa terbang menembus angkasa. Karena pada dasarnya bukan untuk itu burung diciptakan. Atau ada batas-batas yang dimengerti burung, tapi tidak dimengerti manusia. Batas yang mengatakan kalau bebas bukan berarti seenaknya.

Di dunia ini ada sebuah kekuatan absolut yang tak terbantahkan. Orang menyebutnya hukum alam, kodrat, sunnatullah, niyama dhammadalam tataran yang lebih tinggi, Tuhan. Sebuah kekuatan yang memaksa setiap makhluk untuk taat dan tak kuasa menolak. Dalam keadaan patuh ataupun terpaksa. Sebebas-bebasnya burung, ia tidak akan terbang lebih tinggi melebihi kemampuan sayapnya. Segesit-gesitnya ikan, tidak dalam semalam juga ia berenang melintasi tujuh samudera. 

Juga tidak akan tertukar kodrat yang satu dengan yang lainnya. Yang satu akan menghabiskan hidupnya di udara dan yang satunya di air. Burung tidak akan menang lomba berenang dan ikan tidak mungkin juara lomba terbang.

Sepanjang hidupnya, ikan akan percaya kalau dirinya bodoh jika cara kita menilai seekor ikan adalah dari caranya terbang, atau menurut Einstein, dari caranya memanjat pepohonan. Saya teringat Asri Hartantiguru bahasa Inggris asal Wonogiri yang minggu lalu diundang Deddy Corbuzier ke Close the Door karena kemampuan bahasa Inggrisnya yang luar biasa bagus, plus aksen Amerikanya yang kentalgagal jadi PNS karena hasil tes matematikanya jelek. Sampai sekarang saya tidak menemukan korelasi mengapa untuk mengajar bahasa Inggris orang harus pintar matematika. Rasa-rasanya itu juga yang diresahkan Einstein. Pendidikan modern memaksa semua binatang harus bisa memanjat, harus bisa berenang, dan harus bisa terbang. Jika tidak, jangan harap statusnya sebagai "binatang" diakui secara akademis dan berakhir seperti Asri, seekor sailfishikan layar, hewan laut tercepat di duniayang tidak lolos tes jadi ikan gara-gara tidak bisa terbang.

Kebebasan, di sisi lain menyebabkan banyak manusia demi dan atas nama kebebasan itu, mencoba menjadi orang lainseseorang yang bukan dirinya. Melalui pintu yang beraneka ragam: minuman keras, narkoba, seks bebas yang semuanya tidak hanya melanggar hukum tetapi juga norma-norma. Kadang ekspresi kebebasannya berlebihan seperti membakar kitab suci agama orang di Swedia. Atau ganti kelamin di Thailand. Yang laki-laki ingin jadi perempuan begitu juga sebaliknya. Lalu muncul berbagai alasan pembenaran yang semuanya cacat logika. 

Contohnya: kaum LGBT di Amerika Serikat menyatakan kalau laki-laki atau perempuan tidak ditentukan dari jenis kelaminnya ataupun tampilan fisiknya. Kalau pernyataan itu benar secara logika, mengapa sebelumnya mereka harus repot-repot operasi ganti kelamin? Mengapa pula sekarang mereka menyuntiki tubuh mereka sendiri dengan gender blockerhormon khusus untuk menyembunyikan ciri-ciri fisik yang membedakan laki laki dan perempuan?

Kita dapat menyaksikan, di negara yang menomorduakan agama, begitu jauh manusia tersesat dalam pencariannya. Hanya untuk menemukan dirinya sendiri. Sebabnya, kebebasan yang mereka agung-agungkan adalah kebebasan individualistik, artinya setiap orang mempunyai kebebasan, termasuk kebebasan untuk merasa benar sendiri. Kebebasan di negara semacam itu lahir karena adanya orang-orang yang menuntut hak.

Dan agama adalah kebalikannya. Agama mengajarkan memberikan hak, bukan menuntutnya. Mengajari mengucap salam, bukan malah minta diucapi salam. Tersenyum bukan minta disenyumi. Berbuat baik bukan minta diperbuatbaiki. Karena dalam agama, hidup tidak melulu tentang diri sendiri. Orang lain punya hak untuk diucapi salam, mendapatkan senyum dan diperlakukan dengan baik. Maka berikanlah hak mereka. Disaat kita mematuhi itu, orang lain akan memberikan hak-hak kita dengan sukarela. Tanpa diminta. 

Karena engkau orang baik yang memberi salam maka orang lain akan menjawab salammu, sehingga hakmu untuk diucapi salam akan dengan sendirinya terpenuhi. Ketika engkau tersenyum, orang akan berbalik memberikan hakmu untuk disenyumi. Ketika engkau berbuat baik, otomatis orang juga akan berbuat baik kepadamu. Sesederhana itu. 

Lalu bagaimana jika dunia tetap saja jahat padahal kita sudah habis-habisan berbuat baik? Bagi orang beragama, itu sama sekali bukan masalah. Justru dengan tidak dibalas di dunia, makin bahagia hati mereka. Bagi mereka balasan di dunia akan lenyap dan balasan di sisi Tuhan adalah kekal. Mereka akan bersabar karenanya dan akan berbuat baik lebih banyak. Karena mereka sepenuh hati meyakini bahwa Tuhan pasti akan membalas orang-orang yang sabar dengan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Lalu, tentang kebebasan dalam agama adalah seperti bebasnya burung-burung. Mengetahui selama dan setinggi apa ia harus terbang. Menyadari sepenuhnya tujuan ia terbang, kemana arah pergi dan pulangnya. Kebebasan burung-burung adalah mengenali batas, mencapai dan menaatinya, bukan melampauinya. Meskipun tidak jadi soal bagi Tuhan kalau burung-burung itu mau terbang lebih tinggi, dan lebih tinggi lagi. Dan tidak seperti manusia, tidak ada satupun diantara mereka yang cukup bodoh menembus angkasa meninggalkan bumi, hanya untuk mati terbakar matahari.

Related Posts