Bagaimana jika tidak pernah ada “kita” dalam “Sampai maut
memisahkan kita”? Yang tersisa hanyalah maut. Kematian datang
tergesa-gesa pada ia yang terlalu mencintai orang lain dan pada ia yang
terlalu mencintai dirinya sendiri, sendirian. Tanpa adanya “kita”, dalam
cinta, hidup hanyalah kisah tragis antara Narcissus dan Gema.
Alkisah pada zaman Yunani Kuno, Zeus seringkali datang ke
sebuah hutan di gunung Cithaeron secara diam-diam untuk bercumbu dengan
para peri. Para peri hutan sangat senang setiap kali dewa langit itu
datang. Di dalam hutan yang sunyi itu, mereka saling merayu dan memadu
kasih. Lama-kelamaan kabar mengenai 'kelakuan nakal' dewa langit
tersebut terdengar oleh sang dewi bumi, Hera, istri Zeus. Dengan
dipenuhi rasa cemburu, Hera pun masuk ke dalam hutan menyusul suaminya.
Ketika datang, ia disambut oleh peri bernama Gema. Gema
adalah peri periang yang menyenangkan. Ia mengajak Hera untuk berbincang
mengenai banyak hal yang menarik perhatian sehingga memberikan waktu
kepada peri-peri lain –dan Zeus tentunya– untuk kabur.
Siasat itu akhirnya terbongkar oleh Hera. Dengan nada marah
Hera mengutuk Gema, "Ucapanmu terlalu manis untuk seorang peri hutan.
Agar tidak ada lagi yang tertipu, mulai sekarang mulutmu tidak akan
dapat mengatakan apapun kecuali kata-kata terakhir yang orang lain
ucapkan padamu!"
Sejak saat itu, Gema tidak dapat memulai percakapan. Ia
kehilangan kemampuan bicara dan hanya bisa mengulangi kata-kata terakhir
yang orang lain ucapkan kepadanya.
Suatu pagi di dalam hutan, Gema yang bersedih menemukan
kebahagiaannya kembali karena melihat seorang pemuda. Pemuda itu
berperawakan tegap dengan rambut kuning keemasan. Dia adalah Narcissus,
anak dari dewa sungai Cephissus dengan seorang peri bernama Liriope. Ia
adalah pemuda yang karena ketampanannya, membuat seluruh wanita –dari bangsa manusia juga bangsa peri– jatuh cinta. Sudah dapat dipastikan, Gema pun jatuh cinta kepada Narcissus.
Gema mengikuti kemana saja kaki Narcissus melangkah. Seiring
dengan bertambahnya langkah, bertambah pula rasa cinta dalam hatinya.
Tanpa disadari oleh Gema, Narcissus sebenarnya tahu kalau dirinya sedang
diikuti. Ia berteriak, "Siapa di sana?" Karena kutukan dari Hera, Gema
hanya bisa menjawab, "Disana, disana, disana." Narcissus mencari pemilik
suara tersebut, ia menawarkan, "Jangan sembunyi. Mari kita bertemu!"
Dengan perasaan senang yang tak tertahankan Gema berseru "Bertemu,
bertemu, bertemu."
Muncul dari balik semak-semak dan dedaunan, Gema menampakkan
dirinya di hadapan Narcissus. Alangkah terkejutnya Narcissus ketika
mengetahui bahwa pemilik suara tersebut adalah seorang peri. Sadar bahwa
Gema adalah peri hutan yang dikutuk oleh Hera, Narcissus tak sudi
menemuinya. Dan tentu saja, cinta Gema bertepuk sebelah tangan.
Di balik kesempurnaan fisiknya itu, Narcissus mempunyai sebuah ketidaksempurnaan yang sangat besar –keangkuhan.
Wajahnya yang tampan membuatnya sombong sehingga ia menolak semua cinta
yang diberikan untuknya. Bagi Narcissus tidak ada makhluk yang layak,
untuk mencintai dirinya dan menerima cintanya.
Dirundung kesedihan karena cintanya tak berbalas, Gema
mengasingkan diri ke dalam gua. Tubuhnya menjadi kurus kering dan
kecantikannya memudar. Ia akhirnya mati dalam duka yang mendalam.
Setelah kematiannya, yang tersisa hanyalah kutukan. Kutukan itu
tertinggal di dalam gua. Sejak saat itu, gua mengulangi setiap kata-kata
terakhir yang diucapkan oleh manusia. Jika ada suara, gua dapat
menggema. Gua menggema dengan suara lirih yang perlahan memudar. Lambat
laun suara itu menghilang menuju kefanaan, seperti Gema.
Tidak terima dengan apa yang dilakukan Narcissus kepada Gema,
Dewi Aphrodite mengutuk Narcissus. "Jika Narcissus melihat pantulan
dirinya maka ia akan jatuh cinta, kepada dirinya sendiri!", begitu bunyi
kutukannya.
Di suatu siang, setelah lelah berburu, Narcissus menjumpai
sebuah telaga yang sangat tenang. Ia berjalan ke tepian telaga lalu
membungkuk untuk minum. Pada saat itulah ia melihat sebuah bayangan di
permukaan air. Narcissus tidak menyadari bahwa yang ia lihat adalah
pantulannya sendiri. Ia dimabuk rasa kagum dengan kesempurnaan sosok
yang ia lihat serta takjub dengan pemandangan yang baru saja ia
saksikan. Semakin lama ia melihat, semakin bahagialah hatinya. Hingga
pada akhirnya, kutukan Aphrodite terpenuhi, Narcissus jatuh cinta kepada
dirinya sendiri.
Keangkuhan sekarang telah berubah menjadi kegilaan karena
Narcissus tidak tahan berpisah dengan bayangannya sendiri. Bahkan,
ketika Narcissus merasakan dahaga, ia tak mau minum dari telaga tersebut
karena akan menimbulkan riak yang merusak pantulan dirinya.
Berminggu-minggu tanpa makanan, minuman atau tidur, Narcissus akhirnya
mati.
Konon, di tempat matinya Narcissus itu tumbuh setangkai bunga berkelopak
kuning. Bunga itu tumbuh dengan membungkuk ke arah air bukannya ke arah
matahari. Sekarang bunga itu dikenal sebagai bunga Daffodil, bunga yang oleh rakyat Iran dipercaya sebagai simbol tahun baru. Seperti layaknya Narcissus, Daffodil mempunyai rupa yang indah dan beraroma harum. Sayangnya, bunga itu beracun.